Di pelosok Senori, Tuban, hiduplah seorang manusia langka bernama Afham. Pria 27 tahun ini punya kedai kopi yang sejatinya bukan sekadar kedai kopi. Itu adalah markas besar operasi penyamaran sosial. Semacam validasi ke orang-orang bahwa dia dodolan.
Kenapa harus pakai kedai kopi? Karena di desa, status “manusia normal” diukur dari: apakah kamu punya aktivitas fisik yang kasat mata? Kalau cuma duduk manis depan tablet seharian, kamu akan langsung masuk daftar hitam. Entah dituduh bandar judi online, atau yang lebih ekstrem dikira punya kontrak eksklusif dengan makhluk halus untuk mencari pesugihan.
Desingnsmits (Dari Tempa Besi ke Tempa Piksel)
Afham menyebut dirinya desingnsmits plesetan jenaka dari blacksmith. Kalau pandai besi konvensional menempa logam jadi golok, dia menempa piksel jadi desain. Sejak 2016, dia memutuskan jadi freelancer. Di kota, profesi ini disebut creative designer. Di desa? “Kerjane opo to, Le? Nggombar-gambar tok wae kok rokoke surya (rokok hits anak mapan di era lalu sebelum gajah baru menginvasi).
Awalnya dia main di platform Fiverr. Tapi begitu tahu platform itu punya hubungan dengan Israel, dia memilih angkat kaki. ” Umume nek nggawe platform gae kegiatan kan gak mungkin mikir iku perusahaan nggene sopo ya, cookkk tibake perusahaan israel. Aku desain logo, eh duite malah gae tuku peluru kanggo mateni anak-anak Palestina? gatel og” katanya setengah bergurau.
Migrasi Digital dan Portofolio ala Sembunyi-sembunyi
Kini Afham pindah ke behind.com. Job dan beberapa media sosial lain seperti instagram dll dengan job sekitar 3-4 order per bulan, dan rate $80-$100 per project. Bagi warga desa, angka itu masih terdengar seperti dongeng. “Lho, kok iso wong nggesek-gesek tablet digaji? Aku ngarit sebulan yo ra sampai semono!”
Padahal, desain yang dia buat justru sering dipakai logo album musik kekinian di beberapa negara. Jadi, kopi di desa cuma jadi kedok, sementara kopi di kota jadi brand premium berkat sentuhannya.
Hidup Dua Alam kaya Katak (bukan bizer) : Dari Warung ke Dunia Maya
Rutinitas Afham:
Pagi: buka warung, seduh kopi, dengar gosip tetangga.
Siang: masuk kamar, buka tablet, mulai ngulik desain.
Malam: revisi desain sambil sesekali teriak “Bismillah” biar dikira lagi baca doa, bukan lagi marahin klien yang minta revisi ke-17.
Percakapan tipikal dengan tetangga:
“Fam, kerjane opo to ? Kok ra koyo konco neng sawah?”
“Jaga warung, Pak. Sekalian nungguin order online.”
Jawaban yang aman, netral, dan menghindari penjelasan rumit soal vector dan color palette.
Freelance: Antara Gaya Hidup dan Anggapan MLM
Bagi anak kota, freelance adalah kebebasan. Bagi orang desa, freelance masih dianggap mirip bisnis MLM yang kerjaannya nggak jelas, tapi kok bisa rokoke larang dan nyongkrak-nyangkruk bak CEO makan gaji buta sambil pegang tablet.
Afham adalah pionir absurd di komunitasnya. Dia membuktikan bahwa kerja digital itu nyata, meski harus dibayar dengan jadi bahan gunjingan. Warung kopinya adalah jembatan antara dua dunia: secara fisik, dia penjual kopi; secara digital, dia desingnsmits.
Perang Melalui Layar Sentuh
Kisah Afham bukan cuma soal desain dan dollar. Ini adalah cerita tentang anak desa yang bermain di panggung global tanpa harus jadi TKI. Dan soal prinsipnya terhadap Israel? Itu bukti bahwa perlawanan bisa dilakukan lewat hal-hal kecil: menolak memberi tenaga kreatif ke platform yang mendukung rezim fasis.
Jadi, lain kali kamu lihat anak muda desa yang keliatannya cuma main tablet di warung kopi, jangan buru-buru judge. Bisa jadi dia sedang menyelesaikan proyek desain untuk klien di Belanda, sambil berjuang melawan anggapan bahwa tabletnya adalah portal komunikasi dengan jin.
Afham membuktikan: nggak semua yang keliatan “cuma main tablet” itu main judi online. Bisa jadi dia sedang mengetik invoice dalam dollar, sambil pura-pura jualan kopi sachet 1000-an.
(Yayaya…..)
Di tulis saat wawancara dengan afham sambil bergurau ria







Leave a Comment