Dari Aplikasi ke Aplikasi

Aris Tian

Facebook adalah media sosial pertama yang aku kenal. Disaat warnet kala itu masih menjadi primadona bagi setiap insan yang ingin mengakses internet. Halah…. insan.

Sebuah perpaduan yang ciamik antara warnet dan facebook. Bagaimana tidak, untuk mengganti foto profile facebook saja, perlu pakai komputer. Sehingga, warnet adalah solusi yang paling mantab untuk urusan ini. Hanya Rp 2.000 saja (kalau nggak salah), aku sudah bisa berebut bandwidth internet dengan pengguna lain selama satu jam.

Saat itu tampilan Facebook masih sederhana. Handphone juga kebanyakan masih pakai paltform java, setidaknya di lingkunganku. Hanya beberapa orang yang memiliki uang lebih punya smartphone Symbian.

Aplikasi untuk mengakses media sosial milik Mark Zuckerberg ini juga masih simple.

Tampilan facebook lama / Facebook Kabar Berita Tuban

 

Ada juga yang memakai aplikasi snaptu. Sedang aku sendiri lebih suka menggunakan opera mini.

Kalau sekarang, istilah populer di facebook adalah salam interaksi. Dulu ada juga namanya jempoler (hadir menyukai status anda). Hahaha. Mungkin ini awal mula orang-orang milenial ketagihan media sosial.

Transisi Medsos ke Media Hiburan

Bos Facebook bilang bahwa era kejayaan medsos untuk berinteraksi dengan teman dan keluarga sudah berakhir. Hal tersebut dikatakan Mark, lantaran jumlah teman baru yang ditambahkan orang telah menurun (ini aku ambil dari CNBC Indonesia).

Terlepas dari info diatas, beberapa netizen yang aku tahu dari berbagai sumber medsos yang ada, mengklasifikasikan bahwa facebook saat ini adalah media untuk orang-orang tua.

Sedangkan instagram untuk mereka yang lebih muda, tiktok adalah campuran, dan twitter (sekarang X) adalah medsos yang masih sulit digunakan.

Lalu aku lebih prefer kemana?

Hmmm.. ini agak sulit. Lebih baik aku menginfokan tiga orang (sekarang ada 4 orang) dengan aplikasi mereka.

  • Rama (nama sebenarnya)

Dia mengklaim dirinya adalah admin akun jilbob, entah di medsos mana. Cuma setahuku, media yang paling dia sukai saat ini adalah shopee.

Kok shopee???

Nah, bisa ditanya sendiri untuk itu.

  •  Hestu (jangan sampai salah huruf terakhir, karena sebelahan)

Selain menggunakan google scholar, dia juga suka menggunakan instagram. Tapi uniknya, tidak ada satupun akun yang diikuti. Entah kenapa, aku juga tidak tahu, bisa langsung tanya sendiri.

Namun, daripada mencari pengikut, saat ini sepertinya dia lebih mencari pendamping hidup.

  • Aris

Orang ini suka main x, follow ya x.com/inehd

Trend Video Portrait

Ini opini ya!

Tiktok sepertinya menginspirasi banyak platform untuk membuat fitur video portrait. Seperti Facebook dan Instagram dengan reel, youtube dengan short serta fitur serupa di aplikasi media lain yang bisa digeser untuk mengganti konten video lainnya.

X yang dulu lebih berbasis teks, sekarang juga ada fitur video yang bisa di scroll. Contoh lain shopee yang menggunakan fitur shopee video untuk promosi produk. Belum lagi aplikasi lain seperti snack video dan banyak lagi.

Video portrait memang mudah dinikmati dengan perilaku pengguna smartphone. Tidak perlu mengubah posisi gawai menjadi landscape untuk menonton video secara penuh.

Banjir Konten dan Brain Rot

Brain Rot jika diartikan dalam bahasa berarti pembusukan otak, sebuah istilah untuk menggambarkan penurunan fungsi otak karena konsumsi konten bernilai rendah berlebih oleh pengguna.

Keadaan ini berupa penurunan fungsi kognitif, perhatian, dan emosi akibat konsumsi konten digital dangkal dan berlebihan. Sehingga berdampak pada kesehatan mental dengan menurunnya fokus dan konsentrasi, gangguan regulasi emosi, kecanduan digital dan dopamine, menurunnya kemampuan berpikir kritis, serta beresiko mengalami kecemasan dan depresi. (Unisayogya.ac.id , diakses 7 Oktober 2025).

Pengamatan sederhana bisa dilakukan sehari-hari. Misal dengan pasanganmu deh (Yang belum punya pasangan, sini bisa saling mengamati), atau dengan temanmu. Ajak saja ngopi atau ngobrol.

Berapa lama waktu ngobrol dibandingkan dengan waktu bermain smartphone? Entah itu medsos atau game atau bahkan chat.

Itu yang hilang saat ini. Bagaimana ngobrol menjadi kegiatan langka untuk manusia modern sekarang.

Tapi ini kan persepsi. Beberapa orang masih juga asik diajak ngobrol, tanpa memperdulikan gadget yang mereka bawa. Sesekali wajar sepertinya untuk mengecek gadget saat obrolan dalam mode hening.

Iya hening, seperti kisahe kancaku dan kancaku sijine neh.

Monetisasi

Hal yang paling aku tidak suka dari media sosial saat ini adalah monetisasi. Semua media populer bisa menghasilkan uang untuk pengguna.

Dengan syarat tertentu yang diberikan platform, Banyak orang berlomba untuk ikut serta. Akibatnya, banyak konten dengan nilai yang rendah mudah dikonsumsi dan bahkan sering di konsumsi oleh pengguna.

Dari Facebook, ke instagram, lalu ke X, kemudian ke tiktok, setelah itu youtube. Sudah bosan, cek shopee, dan buka story WhatsApp berkali-kali, lalu buka threads dan aplikasi lain yang terinstall di smartphone.

Transisi dari aplikasi ke aplikasi ini dampaknya adalah tadi, brain rot.

Memang benar ada orang yang dapat penghasilan jutaan dari affiliate shopee, dari tiktok, dari facebook dan lainnya. Tapi apakah pernah berfikir soal nilai?

Yah, kita semakin kehilangan nilai dan aku kehilangan dia.

Meskipun tidak semua konten berkualitas rendah. Ada juga konten edukasi yang baik. Namun, apakah kita bisa keluar dari filter bubble yang terus merekomendasikan konten-konten serupa dengan interaksi yang kita lakukan?

Entahlah.

Kamu sudah makan? Makan dulu.

Thumbnail: Qwen AI

Related Post

No comments

Leave a Comment