Makan Bergizi Gratis: “Dari Piring ke Puskesmas, Dari Harapan ke Muntahan”

Ragil Rama

Kalau pemerintah ngadain kontes jargon ter-manis, program Makan Bergizi Gratis (MBG) pasti juara. Bayangin: anak-anak sekolah dikasih makan enak, bergizi, plus gratis! Ibaratnya, kayak mimpi di siang bolong buat orang tua yang setiap pagi harus mikir antara beli susu anak atau kopi sachet untuk bertahan hidup. Program ini terdengar seperti superhero yang datang menyelamatkan generasi penerus bangsa dari ancaman stunting dan mi instan.

Tapi, layaknya sinetron yang awalnya manis berakhir dengan selingkuh dan rebutan warisan, MBG dalam eksekusinya lebih mirip horror comedy. Alih-alih mencetak generasi emas, yang ada malah generasi muntaber (muntah dan berak kalau dalam bahasa kedokteran). Gratisnya dapat, tapi bonusnya antrean di Puskesmas dan pengalaman muntah bersama-sama teman seangkatan.

Data: Laporan Lapangan dari Garda Depan Perut Mules

Mari kita buka buku laporan—bukan laporan nilai, tapi laporan medis. Per September 2025, tercatat lebih dari 5.000 siswa menjadi korban dalam rangkaian insiden “Muntah Fest” yang diduga kuat terkait MBG ini. Ada sekitar 45-60 kasus keracunan massal yang tersebar dari ujung Barat sampai Timur Indonesia. (Sumber: Liputan6, Republika, dll.).

Jawa Barat, misalnya, jadi penyumbang cerita yang cukup produktif. Seolah-olah dapur-dapur MBG di sana sedang balapan membuat eksperimen kuliner baru. Hasilnya? Varian rasa E. coli dan Clostridium yang berhasil membuat 75 pelajar di Cipongkor, Bandung Barat, merasakan sensasi mual dan sesak napas gejala yang biasanya cuma dirasakan orang habis nonton struk gaji awal bulan.

Jangan ketinggalan, Banggai Kepulauan di Sulawesi Tengah menyumbang angka fantastis: 335 siswa harus berwisata ke fasilitas kesehatan. Sekolah yang semula tempat menimba ilmu, mendadak berubah jadi posko darurat. Guru-guru yang biasanya mencurigai surat sakit palsu, kali ini langsung percaya karena yang absen separuh sekolah—dengan alasan yang sama: keracunan massal. Sungguh, pengalaman kebersamaan yang tak terlupakan.

SOP: Singkatan dari “Standart Oplosan Pangan”?

Nah, ini bagian yang bikin geleng-geleng. Dari 1.379 dapur MBG (SPPG) yang berdiri gagah, ternyata banyak yang belum punya SOP keamanan pangan yang jelas. Bahkan, sertifikasi higienis dari Kemenkes pun masih banyak yang on the way atau mungkin malah tersesat di jalan. (Sumber: IDN Times).

Apa artinya? Artinya, kita sedang mempercayakan perut anak-anak bangsa pada dapur yang level kebersihannya bisa jadi sejajar dengan warung nasi legendaris yang cuci piringnya cuma dua kali sehari. Pemerintah dengan bangga berkoar, “Ini untuk Generasi Emas 2045!”. Iya, emas sih. Tapi kalau begini caranya, yang ada malah generasi yang hmmmm MasyaAllah rakaru-karuan.

Pemerintah dan Tim Investigasi: Siaga Muntah Sejak Dini. 

Begitu berita keracunan menyeruak, respon pemerintah cukup cepat. Dibentuklah tim investigasi khusus yang katanya melibatkan ahli-ahli top. Ada ahli kimia, farmasi, sampai kesehatan. Tindakan yang patut diacungi jempol, meski agak terasa kayak ngasih payung setelah hujan reda alias telat. Anak-anak sudah lebih dulu jadi peserta uji coba rasa makanan yang berakhir di kamar mandi.

Yang bikin cringe level dewa adalah pernyataan resmi bahwa ini akan dijadikan “bahan pembelajaran”. Eh Lhoooo, pembelajaran untuk siapa? Anak-anak yang jadi kelinci percobaan? Kurikulum baru: Praktek Langsung Penyakit Akibat Makanan (PLPAM). Modulnya sudah disiapkan alam: mulai dari teori mual, praktik muntah, hingga simulasi antre di IGD.

Padahal, hasil laboratorium dari UGM sudah dengan tegas menemukan tamu tak diundang seperti bakteri E. coli, Clostridium sp., dan Staphylococcus dalam sampel makanan dan… ehem, cairan ekskresi korban. Jadi, selain protein dan karbohidrat, anak-anak dapat bonus protein bakteri. Siapa bilang dapatnya gratis?

Suara Rakyat: Sindiran adalah Bahasa Cinta yang Kesal

Di medsos, warganet sudah mengolah kekecewaan jadi meme dan sindiran tajam. Beberapa di antaranya:

> “Makan gratis iya, tapi ongkos ke Puskesmas bayar sendiri.”

> “Programnya bagus, cuma sayang perutnya anak saya nggak kuat.”

> “Dulu takut anak stunting, sekarang takut anak muntah dan pusing.”

> “Ini bukan Generasi Emas, ini Generasi Tahan Uji Muntah.”

Humor gelap adalah mekanisme pertahanan diri rakyat kecil. Daripada marah-marah sampai darah tinggi, lebih baik ditertawakan. Tapi, di balik tawa itu ada tangis yang menggenang.

Analogi Absurd: Kalau MBG itu Restoran

Bayangkan kamu makan di restoran mahal. Anda dijanjikan steak premium, tapi yang datang daging yang belum jelas asal-usulnya. Beberapa jam kemudian, perut Anda meledak. Anda komplain, dan manajernya bilang, “Wah, maaf Pak. Ini akan jadi bahan evaluasi kami untuk jadi lebih baik.”

Anda pasti bakal marah, review bintang satu, dan laporkan ke BPOM. Tapi, dalam kasus MBG, “pelanggan”-nya adalah anak sekolah yang tidak bisa memilih menu. “Restorannya” punya monopoli. Mau komplain mau tidak, besoknya harus makan lagi di tempat yang sama. Sungguh situasi yang bikin merinding ketika melihat menu makan.

Generasi Emas atau Generasi Enek (Mual)?

Cita-cita MBG mulia: menciptakan Generasi Emas 2045 yang sehat dan cerdas. Tapi, dengan standar kebersihan yang amburadul, bisa-bisa yang tercipta adalah Generasi yang Akrab dengan Oralit. Alih-alih belajar rumus Pythagoras, mereka lebih dulu hafal gejala keracunan makanan. Daripada praktek olahraga, mereka jadi ahli dalam lari sprint menuju toilet. Ini bukan investasi kesehatan, tapi investasi pengalaman traumatis massal.

Mungkin ini penutup: Gratis itu Bukan Berarti Asal-asalan

Jangan salah, ide MBG ini bagus. Tapi, program sebesar ini tidak bisa dijalankan dengan mental “yang penting jalan dulu, urusan belakangan”. Dana besar, target mulia, tapi jika eksekusinya seperti tugas kelompok yang dikerjakan satu orang di menit terakhir”, ya hasilnya adalah laporan keracunan massal.

Jangan sampai program nasional ini berubah akronimnya menjadi “Muntah Berujunh Gratis” atau “Makanan Bakteri Gratis”. Kalau terus begini, yang terjadi bukan pengentasan stunting, melainkan pembentukan generasi yang punya memori kolektif: bahwa makan siang gratis adalah kegiatan yang berisiko tinggi.

 

Punchline ala stand up comedy:

One-Liner MBG Jokes

“Makan Bergizi Gratis… gratisnya iya, gizinya masih dicari di Google Maps.”

“Katanya generasi emas 2045, tapi kalau makanannya kayak gini… jangan-jangan generasi oralit 2045.”

“Anak sekolah dikasih makan gratis… abis itu dikasih pengalaman gratis juga: masuk IGD.”

“Kalau keracunan rame-rame disebut ‘kejadian luar biasa’. Kalau sendirian? Ya namanya lagi jombo.”

“Programnya Makan Bergizi Gratis, tapi branding di lapangan berubah: Muntah Bergizi Gratis.”

“Nasi kotak MBG tuh kayak mystery box: kadang ayam, kadang tempe, kadang… bakteri.”

“Pemerintah bilang ini ‘pembelajaran’. Lah, anak-anak belajar apa? Belajar cara muntah estafet?”

“Gara-gara MBG, anak-anak jadi kuat. Kuat lari ke toilet, kuat nahan mual, kuat nge-tag DPR di medsos.”

“Kalau dulu anak sekolah bolos karena pura-pura sakit, sekarang nggak usah pura-pura lagi. Sakitnya asli.”

 

BONUS: Parodi Berita 

HEADLINE:

Ribuan Siswa Keracunan MBG, Vendor Dapur Klaim: “Itu Bukan Keracunan, Tapi Efek Detoksifikasi Ala Korea!”

 

JAKARTA – Heboh kasus keracunan massal peserta program Makan Bergizi Gratis (MBG) ditanggapi dengan kreatif oleh salah satu vendor penyedia layanan. Bukannya meminta maaf, vendor yang enggan disebutkan namanya ini justru mengklaim bahwa gejala muntah dan diare yang dialami siswa adalah bagian dari proses detox ala diet Korea.

 

“Itu tanda tubuh anak-anak sedang membuang toxin. Lihat saja, setelah ini mereka pasti lebih segar dan bersinar,” ujar perwakilan vendor melalui pesan suara yang terdengar sambil menggoreng sesuatu di background.

 

Sementara itu, seorang ahli gizi yang juga dimintai pendapat hanya menggeleng-geleng. “Detox itu kan biasanya pakai jus buah atau sayuran. Kalau pakai nasi bungkus yang diduga terkontaminasi bakteri, itu namanya bukan detox, tapi intox (keracunan).”

 

Di lokasi kejadian, para orang tua tampak tidak menerima penjelasan tersebut. “DetoX-apaan? Anak saya sampai lemas, bukan bersinar! Malah mungkin yang bersinar itu panci masaknya yang belum dicuci!” ujar Sari, ibu dari salah satu korban sambil mengipasi anaknya yang masih pucat.

Kementerian terkait pun dikabarkan akan mengganti menu dengan makanan yang lebih “aman”, seperti mi instan rebus tanpa bumbu. “Sebab, yang penting kan makan dulu. Daripada keracunan, lebih baik kurang gizi secara terkontrol,”

 

Semoga adanya program ini terdapat evaluasi oleh pemerintah agar tidak ada korban lagi dan berjalan dengan baik, Apalagi korban ghosting dari doi. 

 

 

 

Related Post

No comments

Leave a Comment