Seperti biasa, selepas bangun tidur Nala mulai menyiapkan tripod harga tiga puluh ribuan yang dibeli dari shopee dan hp Vivo yang terbeli dari gaji saat kerja di pabrik dulu.
Jadi konten kreator fb pro, seperti sebuah side job yang mungkin juga jadi pekerjaan utamanya.
Tidak perlu pakai content planner dan jadwal yang tersusun rapi. Nala hanya merekam video keseharian sebagai ibu rumah tangga. Kemudian mengeditnya sebisa mungkin dengan aplikasi capcut bajakan yang dia dapat dari seorang temannya.
Setelah selesai masak dan melakukan pekerjaan rumah, dia lalu mengambil handphone, mengedit dan mengunggah video dalam ukuran portrait tadi ke facebook. Tak lupa dia menulis caption sebisanya dan memberi tanda pagar #semuaorang.
Sudah hampir tiga bulan sejak phk dari pabrik tempat ia bekerja, fb pro miliknya juga belum menghasilkan apapun. Malah kadang terbebani harus mengembalikan gift bintang dari teman-teman lainnya.
Belum mencapai 5000 pengikut, sebagai syarat konten yang bisa dimonetisasi. Nala tau tapi tak bisa berbuat lebih. Dia hanya mengikuti jenis video keseharian pengguna lain di akun facebook miliknya. Dia tidak mampu riset dan reset algoritma.
Suaminya adalah karyawan di kabupaten dengan gaji dibawah UMK. Gajinya hanya dua juta lebih sedikit. Dia pria yang tekun dalam bekerja namun tak bisa berspekulasi. Sebagai seorang pemuda kampung biasa, rajin adalah hal baik. Tapi baik Nala dan Suaminya tak mampu membaca zaman.
Mereka adalah orang jujur yang baik. Berharap kehidupan berbaik hati pada mereka.
Hidup Layak
Menabung adalah hal yang diketahui Nala. Meskipun dia adalah seorang sarjana, dia tidak memperoleh ilmu soal investasi. Agar banyak uang, yang dia ketahui hanya bekerja dan menabung. Perilaku yang dia dapatkan saat masih sekolah dasar dahulu.
Keluarganya kecilnya tak pernah masuk dalam daftar penerima bantuan sosial dari pemerintah. Bukannya diam, suaminya juga pernah bertanya pada perangkat desa. Sentral informasi yang dirasa paling valid untuk menjawab pertanyaannya. Beberapa kali, hasilnya sama, tidak ada jawaban yang bisa diterima. Hingga sekarang pertanyaannya tak terjawab. Mereka tidak bertanya lebih, merasa seperti seorang transmigran di negara yang tidak mereka kenal.
Beban meteran listrik yang dibayar Rp 200.000 perbulan juga terasa berat. Tidak dapat subsidi, namanya tak pernah masuk dalam kategori penerima bantuan. Belum lagi gas LPG tabung ijo yang harganya di warung hampir setengah harga asli. Kadang-kadang jika langka bisa lebih dari setengah harga asli LPG tabung ijo.
Sawahnya kali ini juga hasil panennya kurang baik. Padi terkadang dibeli dibawah harga yang dianjurkan oleh bulog. Belum lagi hutang jasa traktor, dan hutang uang dari keluarga 3 bulan lalu untuk menebus pupuk subsidi.
Sebagai penggarap sawah, dia hanya menerima bersih dua juta per 3 bulan.
Untungnya di desa, tetangga sekitar banyak orang baik. Setiap panen, mereka yang hasil panennya berlimpah memberikan beras kepada tetangga sekitarnya.
Pendapatan
Dengan pendapatan dibawah UMK, suami Nala harus menyisihkan beberapa ratus ribu untuk bbm motor dan biaya service. Terkadang untuk kehidupan keluarganya uang gajinya masih belum mampu menutup biaya.
Tak jarang mereka mendapatkan bantuan dari orangtuanya. Terkadang beras dan kebutuhan dapur lainnya.
Apa boleh buat, ikhtiarnya untuk mendapatkan uang dari facebook mode profesional itu juga belum membuahkan hasil.
Para stakeholder dan para pendamping bantuan pemerintah juga belum mampu membuat hidupnya lebih terbantu.
Hiburannya hanya facebook, sambil melihat konten kreator yang memamerkan pendapatan mereka dengan nominal dollar tersebut. Dia berharap kehidupannya kedepan akan lebih layak meskipun tidak pernah mendapatkan bantuan sosial pemerintah.
Entah, salah sasaran atau memang bagaimana SOP seharusnya. Nala hanya berserah.
Nama Nala dalam tulisan ini adalah fiktif. Terinspirasi dari judul lagu Nala yang dinyanyikan oleh Tulus.
Thumbnail generated by AI Qwen3






Leave a Comment