Pulung Kades Dan Algoritma Media Sosial

Aris Tian

Belakangan ini aku menyimak sebuah video yang menerangkan terkait frekuensi. Bukan frekuensi radio, melainkan frekuensi diri.

Dalam video dijelaskan kenapa kebanyakan dari kita berada dalam frekuensi rendah. Maksudnya frekuensi yang menggambarkan tingkat rasa syukur yang kurang, kurang optimis dan hal negatif lain. Sedangkan frekuensi tinggi adalah kebalikan dari frekuensi rendah.

Kita biasa di push untuk terus berjuang, harus lebih hebat dan selalu memikirkan apa lagi selanjutnya jika selesai menuntaskan tugas atau pekerjaan. Tapi, kapan terakhir kita menikmati hasil dari yang kita kerjakan?

Kalau dalam bahasa Inggris ada namanya present, bisa berarti hadiah atau sekarang. Menurutku ini sedikit terkait dengan kondisi kita belakangan. Dimana kita tidak benar-benar hadir dalam kondisi sekarang, sehingga karena ini mungkin kita tidak bisa menerima hadiah (bersyukur).

Frekuensi rendah bisa terjadi karena kebiasaan kita. Hal pesimis dari lingkungan, kurangnya apresiasi atas kinerja, juga dari medsos yang lekat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Sebagai pengguna media sosial X yang cukup aktif, sering aku jumpai postingan pesimis disana. Meskipun menurut riset yang pernah aku tau yang disampaikan oleh orang lain, pengguna X jauh lebih sedikit dibanding pengguna Meta (Fb, Ig) dan Tiktok.

Selain X, media lain juga tidak kalah bersebaran postingan pesimisnya. Belakangan aku menghapus nomor WhatsApp yang aku simpan karena lebih banyak post hal negatif daripada positif. Sedangkan untuk medsos lain, sama sekali sulit untuk kukendalikan.

Facebook misalnya, tidak seperti X dan Tiktok yang bisa memih tab FYP dan mengikuti (teman kalau di Tiktok). Di facebook, kamu tidak diberikan akses semudah itu. Pokoknya makan konten yang disajikan.

Meskipun untuk beberapa orang yang fokus di internet marketing bisa jadi sebuah peluang. Katena algoritma yang dipakai adalah filter bubble. Mudahnya, jika aku suka dengan konten komputer, biasanya beranda akan ada konten serupa. Tidak hanya facebook, ig dan tiktok pun sama.

Mudahnya jika dulu trending hanya bisa ditemukan di twitter, sekarang medsos apapun bisa menyajikan trending.

Sialnya, hal semacam ini menjadi tools yang bisa digunakan untuk tujuan tertentu. Kalau di X biasanya tulisan yang menjadi media persebarannya, sedangkan di media lain adalah video pendek. Sehingga sekarang kita mengenal clipper dalam Tiktok ataupun Youtube.

Klenik Tradisional dan Digital

Pernah suatu kali seseorang yang punya background politik menjelaskan tentang pulung. Pulung ini biasanya erat kaitannya dengan pemilihan kades. Kades ya, bukan lurah, kalau lurah ditunjuk bukan dipilih.

Kebanyakan orang menganggap bahwa pulung ini adalah isyarat calon kades mana yang bakal menang. Sialnya kita percaya itu seperti kita percaya bahwa smackdown dahulu bukan sebuah acting artis. Namun baik pulung kades dan teatrikal smackdown adalah by design.

Sudah ada skenarionya. Kalau kaitannya dengan pulung kades, ada yang namanya aktor intelektual. Dimana aktor ini yang akan mengatur bahwa, kades A misalnya yang akan menang.

Dengan tingkat keyakinan masyarakat dengan klenik yang cukup tinggi, hal tersebut sepertinya cukup ampuh untuk menggiring opini. Bahkan hanya dengan kata-kata “aku eroh wingi pulung e parake ngidul no calon A“, bisa menjadi sarana untuk menggiring pilihan masyarakat.

Seperti juga dalam penggiringan di media sosial lewat hashtag atau postingan yang seragam. Seorang buzzer dapat menarget audience dengan bantuan algoritma yang ditetapkan dalam teknologi platform media sosial.

Video pendek dalam mode portrait, atau biasa disebut reels, menjadi media paling ampuh karena yang paling sering di konsumsi pengguna. Lihat saja, sebuah postingan panjang dibanding video reels yang mengundang tensi, ramai mana komentarnya. Selain menambah emosi, juga bisa menjebak kita di frekuensi rendah.

Belum lagi teknologi AI yang bisa memodifikasi gesture dan suara. Hal semacam ini kadang hadir dalam video pendek di media sosial. Kita tau sendiri kan, banyak contohnya.

Overwhelmet

Kita pernah dengar istilah brain rot yang belakangan populer. Kalau dibahasakan artinya pembususkan otak. Ini sebuah istilah yang maksudnya adalah penurunan fungsi secara psikologis maupun kognitif.

Konsumsi konten video misalnya dengan durasi pendek dengan kualitas rendah. Maksud kualitas secara makna berarti tidak memberikan hal yang berarti. Kadang malah bikin overthinking.

Tak jarang kita temui disekitar kita, bahkan kita sendiri mungkin yang daya fokusnya mulai berkurang. Sialnya, konten video sialan tidak bermutu itu kita makan setiap hari.

Namun untuk berhenti kadang kita bingung hingga kita kewalahan sendiri akhirnya (overwhelmet).

Overwhelmet ini tidak hanya kita temui di konten video. Gagap teknologi (aku sebut begitu) yang aku temui, memaksa kita untuk ikut arus. Bukan karena kita yang kurang update, hanya saja menyesuaikan keadaan.

Lihat saja grup WhatsApp yang berjejer. Mungkin saja kebanyakan kita baru sampi pada gerbang teknologi. Pengennya simple dan efisien, malah mengganggu kinerja.

Bagaimana lagi, fitur WhatsApp juga meneyediakan hal tersebut, seperti upload dokumen dalam grup chat atau private chat. Meskipun sebenarnya ada cara simple seperti kirim link dari penyimpanan eksternal seperti drive milik Google atau Microsoft.

Dari sini kadang sulit membedakan mana kehidupan pribadi dan kerjaan. Harusnya jam kerja maksimal 8 jam, bisa jadi 24 tanpa hitungan lembur.

Untuknya aku freelance, hahaha.

 

Thumbnail: Google gemini AI

Related Post

No comments

Leave a Comment